Minggu, 06 September 2009
Tak Mau Lekang
Oleh Ferdy Jalu
Inggris pasti berbangga karena bola kaki warisan leluhurnya disanjung dan digemari banyak insan di seantero jagat ini, tak terkecuali Flores plus Alor dan Lembata. Hingga di kampung-kampung di Florete hal yang satu ini sering dilakonkan bahkan menjadi tema pokok pembicaraan maniak bola tat kala mereka menikmati kopi pada pagi dan sore hari tentang aksi cantik Maradona, Krsitian Ronaldo, Leonel Meisi atau ikon bola kaki sejagat lainnya. Bahkan karena ketertarikannya terhadap bola kaki masyarakat menjelma sawah menjadi lapangan bola kaki. Sebagiannya menempatkan bola kaki sebagai salah satu kegiatan yang harus dilakukan dalam rangka memeriahkan hari raya keagamaan seperti paskah, HUT kemerdekaan RI, HARDIKNAS, dan media kampanye politik jelang pemilihan umum.
Tetapi bola kaki tidak membuat budaya masyarakat setempat tercerabut dari akarnya. Bola kaki boleh dipentaskan di lapangan hijau tapi tangan mereka tetap menabuh gong-gendang musik warisan leluhurnya, mulutnya melantunkan lagu ciptaannya, dan kaki mereka terhentak memperagakan tarian karyanya sendiri. Hal ini tidak boleh tidak mereka lakukan dalam banyak hal termasuk pada saat pertandingan bola kaki berlangsung. Bola kaki warisan Eropa bukannya penghalang dalam pelestarian budaya daerah mereka. Bola kaki merupakan mitra yang membantu masyarakat Florete dalam mengaktualisasikan atau mempromosikan kekayaan warisan leluhurnya.
Rawa Mangun, stadion sepak bola yang terletak di Ibu Kota Jakarta merupakan sebuah tempat yang memberikan kesaksian dipentaskannya budaya Florete bersamaan dengan aksi anak-anak Florete di lapangan hijau. Di sana terdengar lagu-lagu, diperagakan tarian, dan aksi tabuh gong-gendang berirama Jai, Dolo-Dolo bersamaan lantun musik Bale Nagi dari Flotim-Lembata, Gawi dari Ende, Gong Waning dari Sika dan lain sebagainya. Pementasan budaya yang bersifat intermezo itu menambah semaraknya suasana pertandingan sekaligus melahirkan nostalgia anak-anak Florete akan kampung halamannya.
Tampilnya budaya bernuansa Florete itu mengubah Rawa Mangun menjadi “Flores, Alor dan Lembata” ada di tengah Ibu Kota Jakarta yang hingar bingar dan megah. Putra-putri Florete merasa megah dan bangga bisa menghadirkan budayanya di tengah metropolitan Jakarta. Ini merupakan ciri manusia yang menjiwai budaya dan kacang yang tidak melupakan kulitnya, tidak melupakan tempat kelahirannya. Ternyata perantauannya di Jakarta sungguh untuk menghidupkan budayanya supaya dikenal oleh banyak orang dan ingin menyatakan budayanya tetap eksis kapan dan di mana saja, tidak lekang oleh kegemerlapan Jakarta dan tawaran modernis yang praktis dan menggiurkan. Florete boleh jauh di mata tetapi dekat di hati. “Cintaku terhadap Florete tetap utuh, tidak akan pudar selamanya.” Bae sonde bae Florete lebih baek.”
Kenyataan ini menjadi kekuatan untuk menampik berbagai sikap “arogansi diaspora” (kesombongan perantau) yang tidak peduli bahkan tidak kenal asal-usul akar budayanya, termasuk darahnya sendiri. Hal ini juga merupakan salah satu kekuatan untuk mempertahankan diri dalam menghadapi gempuran dan ekspansi budaya asing yang terkadang mengarahkan kita pada ketidakpengenalan identitas sebagai bangsa yang bermartabat. Inilah sikap dan cara yang tepat untuk mengusir berbagai pengklaiman atau pengadopsian budaya warisan leluhur kita oleh orang-orang asing. Kita tentu tidak membiarkan diri kita, budaya kita tercabik oleh kepentingan politik dan ekonomi orang lain. Budaya Florete terus dipertahankan dan dilestarikan kapan dan di mana saja. Bila perlu setelah laga sepak bola Copa Florete II berakhir kita lanjutkan dengan “Laga Budaya Florete”, why not?
Ferdyjalu@yahoo.com/Ferdyjalu@indonusa.net.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar