Minggu, 06 September 2009

Ada Optimisme Dari Copa Florete


Oleh Ferdy Jalu

Bola kaki bersentuhan dengan psikososial masyarakat. Bola kaki membangkitkan optimisme masyarakat meraih kesuksesan. Optimisme melepaskannya dari keterasingan hidup dan masuk dalam jaringan sosial yang lebih luas. Terbuka ruang baginya memaksimalkan pengolahan potensinya meraih segudang prestasi.

Laga sepak bola Copa Florete merupakan dewa penyelamat yang membebaskan masyarakat Florete dari jerat keterasingan dalam pertarungan hidupnya di Ibu Kota. Terasing karena minimnya prestasi selain karena perbedaan suku, agama, watak, ras dan kelas sosial. Tetapi juga terasing Karena egonya enggan membangun kerja sama dengan yang lain, khususnya dengan sesamanya dari Florete. Setiap orang atau kelompok berjalan sesuai dengan aturan mainnya sendiri, menganggap dirinya yang terpenting dan tidak mengindahkan yang lain.

Copa Florete merupakan lonceng yang membangunkan masyarakat Florete dari “keterpurukan” hidupnya di Jakarta. Hidupnya yang selalu bergantung pada prestasi orang lain bukan dari prestasinya sendiri. Kalaupun ada orang Florete yang mengalami nasib baik itu hanya segelinitir orang tetapi untuk dirinya sendiri.

Kita berharap Copa Florete menguncupkan optimisme kita menuju prestasi yang selama ini jauh dari kita. Optimisme yang memotivasi masyarakat Florete berlari lebih kencang meraih sejumput prestasi dalam berbagai dimensi kehidupan, tidak hanya dalam bidang olah raga bola kaki.

Optimisme itu tampak ketika penjual kopi Florete menawarkan kopinya kepada pejabat, politikus, pengamat politik, pengacara, dosen, artis, wartawan, mahasiswa, pihak keamanan, dan masyarakat lainnya yang berjubelan di tirbun Rawa Mangun menyaksikan satu per satu laga anak-anak Florete yang disuguhkan di lapangan hijau. Penjual kopi merasa dirinya dihormati dan bahagia atas sambutan yang ramah dan santun dari pencicip kopi yang disuguhkannya. Respek dari mereka ibarat “kafein” yang menggairahkannya untuk terus menjual kopinya sehingga merasakan hari esok yang cerah.

Hal yang menarik dari penjual kopi ini adalah bahwa ia tidak gensi dengan status dan perannya menjual kopi di tengah kerumunan massa yang seasal dengannya. Gensi tidak berlaku dalam dunia usaha karena mendatangkan “kutukan.” Yang terpenting baginya adalah halal, memanfaatkan peluang, dan hidup di atas usaha sendiri (mandiri), bukan berparasit pada usaha orang lain.

Sementara itu dari lapangan hijau optimisme itu lahir ketika para pemain Copa Florete menunjukkan aksi-atraktifnya yang mengundang decak kagum kalayak. Decak kagum yang muncul secara spontan merupakan ungkapan pujian yang tulus terhadap kualitas permainan anak-anak Florete yang bisa dipersandingkan dengan pemain sekaliber yang berlaga di pentas nasional. Pujian itu merupakan spirit yang merangsang optimisme pemain memaksimalkan potensinya dalam mengolah si kulit bundar.

Pujian yang sama terlontar dari mereka yang profesional atau makan garam dalam dunia persepakbolaan tanah air yaitu pengamat dan wasit PSSI dan Liga Super Indonesia yang turut berpartisipasi dalam Copa Florete. Pujian mereka diukuti dengan pembuktian terbukanya jalan bagi para pemain Copa Florete mengikuti seleksi rekrut pemain tim sepak bola besar di tanah air.

Kendati tidak adanya pujian dari pihak lain masyarakat Florete tetap perlu mengaku dan mendukung performa para pemainnya. Sikap demikian merupakan hal penting membangkitkan optimisme demi kemajuan. Tanpa adanya sikap seperti itu maka kita tetap berjalan di tempat atau mungkin bergerak mundur. Pesimisme ini menuntun kita melihat diri kita sebagai yang tak berdaya. Itu artinya kita menolak “daya” yang ada dalam diri kita, termasuk daya pengakuan dan dukungan.

Daya itu ada dalam diri setiap insan, tinggal bagaimana manusia menghidupkannya. Daya itu ada dalam masyarakat Florete dan butuh upaya dari dirinya sendiri-tidak selalu dari orang lain-untuk mengeksplorasinya.

Copa Florete merupakan cara lain menghidupakan daya atau potensi yang dimiliki Florete. Cara yang melahirkan pengakuan dan dukungan terus menerus memompa potensi Florete. Cara ini lahir dari optimisme akan tampilnya Florete dalam laga nasional dan internasional.

Cara yang baik ini harus dilanjutkan. Kelanjutannya yaitu terselenggara rutinnya Copa Florete dan terlaksananya pembinaan lanjutan pemain Florete yang berpotensial, sehingga optimisme yang sedang berkobar tak kunjung padam bersamaan perginya Copa Florete tahun ini. Di sini sangat dibutuhkan dukungan banyak pihak. Peran pemerintah daerah dan pusat serta para petinggi Florete atau pihak yang memiliki keterikatan dengan Florete sangat dibuthkan dalam hal ini.

Bersamaan itu perlu diletakan system manajemen yang baik, manajemen berkelanjutan dan berwatak keakraban, ingin bekerja sama dengan siapa saja. Tetapi juga manajemen yang menjunjung tinggi spirit sportivitas; tidak korup secara finansial, tidak kolusi dalam permainan, dan tidak nepo dalam merekrut pemain (pilih siapa yang terdekat, bukan berbobot). Peletakan manajemen sportivitas merupakan kekuatan yang mampu memikat dan memantapkan kredibilitas siapa saja. Munculnya dukungan dan loyalitas setiap pihak terhadap pembinaan sepak bola Florete berangkat dari keterpikatan dan kredibilitas manajemen Copa Florete yang sportif.

Jadikan Copa Florete pendongkrak kebejatan moral. Prestasi KKN yang selama ini bermukim di tanah kelahiran sana tidak boleh tertular di sini. Jika prestasi kebecatan yang lama bersarang di sana mencoreng wajah Copa Florete maka Copa Florete bukan penyalur bakat dan pembangkit optimisme tetapi penyebar virus KKN. Dengan demikan kita tidak dijiwai optimisme tetapi keterasingan tetap menggerogoti diri kita. Prestasi pun terus pergi dari hadapan kita.

Ferdyjalu@yahoo.com or ferdyjalu@indonusa.net.id

Tak Mau Lekang


Oleh Ferdy Jalu

Inggris pasti berbangga karena bola kaki warisan leluhurnya disanjung dan digemari banyak insan di seantero jagat ini, tak terkecuali Flores plus Alor dan Lembata. Hingga di kampung-kampung di Florete hal yang satu ini sering dilakonkan bahkan menjadi tema pokok pembicaraan maniak bola tat kala mereka menikmati kopi pada pagi dan sore hari tentang aksi cantik Maradona, Krsitian Ronaldo, Leonel Meisi atau ikon bola kaki sejagat lainnya. Bahkan karena ketertarikannya terhadap bola kaki masyarakat menjelma sawah menjadi lapangan bola kaki. Sebagiannya menempatkan bola kaki sebagai salah satu kegiatan yang harus dilakukan dalam rangka memeriahkan hari raya keagamaan seperti paskah, HUT kemerdekaan RI, HARDIKNAS, dan media kampanye politik jelang pemilihan umum.

Tetapi bola kaki tidak membuat budaya masyarakat setempat tercerabut dari akarnya. Bola kaki boleh dipentaskan di lapangan hijau tapi tangan mereka tetap menabuh gong-gendang musik warisan leluhurnya, mulutnya melantunkan lagu ciptaannya, dan kaki mereka terhentak memperagakan tarian karyanya sendiri. Hal ini tidak boleh tidak mereka lakukan dalam banyak hal termasuk pada saat pertandingan bola kaki berlangsung. Bola kaki warisan Eropa bukannya penghalang dalam pelestarian budaya daerah mereka. Bola kaki merupakan mitra yang membantu masyarakat Florete dalam mengaktualisasikan atau mempromosikan kekayaan warisan leluhurnya.

Rawa Mangun, stadion sepak bola yang terletak di Ibu Kota Jakarta merupakan sebuah tempat yang memberikan kesaksian dipentaskannya budaya Florete bersamaan dengan aksi anak-anak Florete di lapangan hijau. Di sana terdengar lagu-lagu, diperagakan tarian, dan aksi tabuh gong-gendang berirama Jai, Dolo-Dolo bersamaan lantun musik Bale Nagi dari Flotim-Lembata, Gawi dari Ende, Gong Waning dari Sika dan lain sebagainya. Pementasan budaya yang bersifat intermezo itu menambah semaraknya suasana pertandingan sekaligus melahirkan nostalgia anak-anak Florete akan kampung halamannya.

Tampilnya budaya bernuansa Florete itu mengubah Rawa Mangun menjadi “Flores, Alor dan Lembata” ada di tengah Ibu Kota Jakarta yang hingar bingar dan megah. Putra-putri Florete merasa megah dan bangga bisa menghadirkan budayanya di tengah metropolitan Jakarta. Ini merupakan ciri manusia yang menjiwai budaya dan kacang yang tidak melupakan kulitnya, tidak melupakan tempat kelahirannya. Ternyata perantauannya di Jakarta sungguh untuk menghidupkan budayanya supaya dikenal oleh banyak orang dan ingin menyatakan budayanya tetap eksis kapan dan di mana saja, tidak lekang oleh kegemerlapan Jakarta dan tawaran modernis yang praktis dan menggiurkan. Florete boleh jauh di mata tetapi dekat di hati. “Cintaku terhadap Florete tetap utuh, tidak akan pudar selamanya.” Bae sonde bae Florete lebih baek.”

Kenyataan ini menjadi kekuatan untuk menampik berbagai sikap “arogansi diaspora” (kesombongan perantau) yang tidak peduli bahkan tidak kenal asal-usul akar budayanya, termasuk darahnya sendiri. Hal ini juga merupakan salah satu kekuatan untuk mempertahankan diri dalam menghadapi gempuran dan ekspansi budaya asing yang terkadang mengarahkan kita pada ketidakpengenalan identitas sebagai bangsa yang bermartabat. Inilah sikap dan cara yang tepat untuk mengusir berbagai pengklaiman atau pengadopsian budaya warisan leluhur kita oleh orang-orang asing. Kita tentu tidak membiarkan diri kita, budaya kita tercabik oleh kepentingan politik dan ekonomi orang lain. Budaya Florete terus dipertahankan dan dilestarikan kapan dan di mana saja. Bila perlu setelah laga sepak bola Copa Florete II berakhir kita lanjutkan dengan “Laga Budaya Florete”, why not?

Ferdyjalu@yahoo.com/Ferdyjalu@indonusa.net.id